Suasana di Mekah sejak dulu selalu riuh dengan suara yang tidak pernah berhenti: panggilan para pedagang yang fasih menyebut satu kata keramat, “Ya Hajjah, Ya Hajjah”. Seolah semua orang di tanah suci itu memiliki satu identitas yang sama, satu panggilan universal yang menyingkirkan nama, marga, bahkan gelar akademik: cukup disebut “Hajji” atau “Hajjah”. Panggilan itu bukan hanya sapaan, melainkan stempel sosial yang melekat, sebuah ijazah tak tertulis yang diberikan bukan oleh kampus, bukan oleh universitas, melainkan oleh perjalanan spiritual menuju Ka'bah. Orang Bugis yang berbelanja di pasar Mekah akan tersenyum ketika mendengar sapaan itu, sebab ia seperti diingatkan: pulang nanti, engkau akan membawa pulang sebuah nama baru. Nama itu akan mendahului semua identitasmu sebelumnya, bahkan kadang lebih kuat daripada nama keluargamu sendiri.
Ketika jamaah Bugis pulang kampung, suasana itu berlanjut dalam ritual mappatoppo’. Semacam “wisuda sosial” yang melibatkan kampung halaman: rumah dipasangi janur, tetangga berkumpul, doa dipanjatkan, lalu sang jamaah mendapat pengakuan publik, bukan hanya sebagai orang yang telah menunaikan ibadah, tapi sebagai orang yang telah melampaui batas geografis dan finansial. Seolah Ka'bah memberi ijazah tak tertulis: “Engkau kini Hajji, engkau kini Hajjah”.
Tidak ada ibadah lain yang melahirkan gelar nonformal seperti ini. Refleksi menarik muncul ketika dibandingkan dengan zakat. Zakat juga hanya diwajibkan pada orang yang mampu, bahkan menuntut mereka yang memiliki surplus harta. Tetapi mengapa zakat tidak melahirkan gelar? Tidak ada orang dipanggil “zakatullah” atau “al-zakiy”. Padahal zakat secara sosial lebih revolusioner, karena ia mengalirkan kesejahteraan, mengurangi jurang kemiskinan, dan menjaga harmoni. Sementara haji, meski spiritualnya agung, sering kali secara sosial lebih berfungsi sebagai simbol kebanggaan. Apakah ini karena Ka'bah yang menjadi pusat gravitasi spiritual, atau karena manusia yang butuh tanda prestise, sehingga menjadikan haji sebagai trofi sosial? Apakah karena Ka'bah sebagai pusat kosmos spiritual umat Islam yang menjadi magnet luar biasa? Ataukah karena gelar itu sendiri yang menempel di depan nama, menjadikannya semacam mahkota duniawi dari perjalanan ukhrawi?
Bagi orang Bugis, pulang haji seperti pulang dari medan perjuangan. Ada semacam ijazah sosial yang dibawa, bukan sekadar paspor dengan cap imigrasi. Gelar “Haji” ini bahkan menjadi bagian dari panggadereng yaitu tata nilai dan norma Bugis yang menata kehidupan sosial. Dalam panggadereng ada istilah syara’, jalan agama yang dijunjung tinggi. Ulama menjadi pemegang jalan ini, tetapi lambat laun haji juga berdiri sejajar. Jika ulama adalah sumber fatwa, maka haji adalah simbol teladan: ia telah menempuh jalan jauh, mengorbankan harta, melewati lautan, hingga mencium batu hitam. Haji adalah “jalan lain” menuju kemuliaan, sebuah arena sosial di mana orang diakui memiliki daya, wibawa, dan kemampuan.
Di masa kolonial, ulama dan haji bahkan menjadi simbol perlawanan. Ulama menyalakan api jihad dengan ayat-ayat, sementara haji membawa legitimasi tambahan: ia adalah orang yang sudah “menyentuh tanah haram,” yang kata-katanya lebih berbobot, yang sumpahnya lebih sakral. Maka tak heran jika di banyak daerah, gelar haji bukan sekadar prestasi personal, melainkan bendera perlawanan. Gelar itu menjadi pelindung moral untuk melawan penjajahan, bahkan menjadi semacam “baju zirah” sosial.
Dalam Perang Bone, nama Haji Daeng Ruru muncul sebagai pemimpin rakyat melawan Belanda. Di Wajo, Haji Muhammad Thahir mengobarkan semangat jihad sufistik. Lebih jauh lagi, Sultan Hasanuddin dalam Perang Makassar pun dikelilingi ulama yang meniupkan api jihad. Belanda tidak buta. Arsip kolonial memperlihatkan kecurigaan besar terhadap mereka yang pulang dari Mekah. Anthony Reid menulis, jamaah haji dicurigai sebagai "agen Pan-Islamisme". Gelar haji di mata Belanda bukan sekadar religius, tapi identitas politik yang membahayakan.
“Haji itu berbahaya,” begitu catatan salah satu pejabat kolonial. Bahaya bukan karena mereka berdoa lebih lama, tapi karena mereka pulang dengan mata yang terbuka: melihat dunia Islam yang lebih besar, melihat solidaritas lintas bangsa, dan pulang dengan semangat perlawanan. Tak berlebihan bila haji di masa itu adalah bendera jihad, simbol resistensi terhadap kolonialisme.
Namun, seperti semua simbol, ia lambat laun berubah makna. Haji tidak lagi semata simbol perjuangan, melainkan simbol kemampuan. Gelar itu lambat laun menjadi penanda status: ia yang mampu menyeberangi lautan, ia yang mampu membayar kapal, ia yang mampu meninggalkan sawah dan ladang untuk beberapa bulan. Haji menjadi tanda “sudah sampai” dalam tangga sosial. Di kampung, orang akan lebih mendengarkan kata-kata seorang haji ketimbang tetangga biasa. Bahkan dalam perjodohan, sebutan “anak Haji” menjadi nilai tambah. Di sinilah metafora itu terasa getir: ibadah yang seharusnya mengikis ego malah berpotensi menebalkan hierarki.
Pertanyaan ini membawa kita pada babak baru: bagaimana negara mengelola animo besar ini. Seiring waktu, semakin banyak orang Nusantara berangkat haji. Kapal-kapal dari Makassar, Surabaya, dan Batavia penuh sesak. Orang Bugis yang terkenal pelaut tangguh pun menjadikan haji sebagai cita-cita hidup.
Animo besar itulah yang mendorong lahirnya manajemen modern. Dari masa kolonial hingga Indonesia merdeka, penyelenggaraan haji menuntut kelembagaan. Maka lahirlah Kementerian Agama pada 1946, dengan salah satu tugas utamanya mengurus haji. Namun jalan ini tidak mulus. Banyak ijtihad kebijakan dianggap sebagai tidak tepat. Dari antrean panjang, tata kelola dana, hingga polemik distribusi kuota. Seakan haji berubah menjadi lahan politik, birokrasi, bahkan bisnis. Di sini, haji kembali diuji: bukan lagi berhadapan dengan penjajah, tapi dengan godaan internal bangsa sendiri.
Tetapi sejarah tidak berhenti pada sandungan. Dari waktu ke waktu, Kementerian Agama Selalu berbenah. Di era Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, sang Gurutta, Haji bukan hanya ritual massal, melainkan ruang inovasi pelayanan publik. Ia mendorong persiapan layanan lebih awal, memberangkatkan jamaah mulai 1 Mei 2025. Ia memperkenalkan skema tanazul bagi lansia dan murur bagi jamaah rentan, menciptakan transportasi ramah disabilitas, dan bahkan menurunkan biaya haji dari Rp93,4 juta menjadi Rp89,4 juta.
Diplomasi pun diperkuat. Pertemuan dengan Menteri Haji Arab Saudi menghasilkan kesepakatan yang membuka jalan penguatan layanan. Monopoli layanan katering dan pemondokan dipangkas, memberi ruang bagi lebih banyak syarikah. Fokus khusus diberikan kepada lansia dan penyandang disabilitas. Dan yang paling penting, ada keteladanan moral: Prof. Nasaruddin Umar berani meminta maaf secara terbuka atas kekurangan layanan, sesuatu yang jarang dilakukan pejabat publik.
Puncak dari reformasi ini adalah capaian Indeks Kepuasan Jemaah Haji Indonesia (IKJHI) 2025. Skornya 88,46 kategori sangat memuaskan, dan tertinggi dalam sejarah. “Indeks ini bukan sekadar angka. Di balik setiap poin, ada senyum, ada haru, dan ada pengakuan atas kerja keras kita semua,” ujar Menag Nasaruddin Umar. Kata-kata itu menggema, bukan hanya di ruang konferensi pers, tapi juga di hati ribuan jamaah yang merasakan layanan berbeda di Tanah Suci.
Namun klimaks itu sekaligus menjadi penutup. Pada September 2025, DPR RI menyetujui pembentukan Kementerian Haji dan Umrah. Urusan haji resmi dipindahkan dari Kementerian Agama. Sebuah era ditutup dengan capaian puncak, lalu dibuka era baru dengan kelembagaan yang lebih fokus. Dari individu ke sosial, dari sosial ke politik, dari politik ke birokrasi, kini haji telah menjelma pilar kementerian tersendiri.
Sejarah haji di tanah air adalah perjalanan wajah yang terus berubah. Di masa lalu, ia bendera perlawanan. Di kampung-kampung Bugis, ia kasta terselubung. Di era negara modern, ia birokrasi yang butuh tata kelola. Kini ia pilar kementerian, sejajar dengan urusan-urusan negara lain. Tetapi satu pertanyaan tak pernah padam: apakah haji masih kita lihat sebagai jalan menuju Allah, atau sekadar jalan menuju martabat dunia?
Seorang jamaah tua dari Kampung, ketika ditanya setelah pulang, hanya tersenyum: “Ka'bah memang satu, tapi wajah haji di kampung bisa banyak. Ada yang melihatnya sebagai ibadah, ada yang sebagai status. Saya hanya berdoa, semoga langkah saya tetap sampai ke Allah, bukan berhenti di panggilan ‘Pak Haji’.”