Skip ke Konten

Novelitas Maulid dan Cita Rasa Bangkok di Makassar

Muhammad Majdy Amiruddin (Sekretaris LP2M IAIN Parepare)

Baba, ayok pigi festival kuliner, namanya Makassar Rasa Bangkok.”


Permintaan istri saya itu terdengar sederhana, tapi seperti kompas yang mengarah ke luar negeri tanpa tiket. Kata “Bangkok” langsung menyalakan lampu-lampu neon di kepala saya. Saya sudah menjejakkan kaki, setidaknya dalam imajinasi, di Jalan Alor Kuala Lumpur: Tom Yam bercumbu dengan serai dan gurihnya santan, Ikan Kakap stim menyapa asamnya limau, pad thai menari bersama jeruk nipis. Saya tersenyum, seakan Makassar malam itu siap berakting sebagai Bangkok.


Kami pun berangkat. Dari kejauhan, spanduk besar menyapa: Makassar Rasa Bangkok. Ada gajah putih di ujung banner, ada payung warna-warni seperti sedang memaksa hujan jadi eksotis. Musik mengalun dari panggung kecil, dan istri saya, yang memanggil saya “Baba” dengan manja, sudah memasang wajah turis domestik yang siap mabuk aroma asing. Saya pun hampir percaya, Bangkok sudah pindah alamat ke Tanjung Bunga.


Tapi lidah, sayangnya, bukan turis. Lidah tahu bedanya Thailand dengan Nusantara, bahkan sebelum perut sempat berkomentar. Baby Crab  yang saya cicipi justru menangkap Rasa Barbeque. Cumi Gorengnya disiram keju mozzarella, sementara Udang bakarnya diberkati blackpepper ala kafe barat. Serai entah hilang ke mana. Cabai khas Siam hanya jadi figuran. Yang ada hanyalah rasa lama, rasa universal, rasa yang sudah kita kunyah sampai bosan. Seketika teringat guyonan seorang kawan: "waseng aga iyaseng ikan bakar, bale tunumi pale."


Novelti yang dijanjikan ternyata hanya kosmetik, bedak tebal di wajah yang sama.


Di situlah otak saya melompat ke Maulid. Betapa miripnya nasib Maulid dengan festival ini. Nama “Maulid” memang tidak ada di zaman Salaf. Nabi tidak pernah merayakan, sahabat tidak mengenalnya. Lalu ada yang buru-buru melabelinya: bid‘ah! Seolah-olah papan nama lebih penting daripada isi piring.


Padahal, kalau kita kunyah perlahan, apa rasa Maulid itu? Tausiyah yang mengingatkan iman. Salawat yang memekarkan cinta Nabi. Sirah yang menyambung ingatan kita pada beliau. Tidak ada bumbu baru, tidak ada resep asing. Yang ada hanyalah rasa lama—rasa sunnah—yang dibungkus ulang. Novelitas Maulid, kalau mau jujur, hanya ada pada spanduk.


Inilah paradoks novelti: kadang ia tak lebih dari janji pada papan nama. Seperti Makassar Rasa Bangkok, yang menghadirkan Bangkok hanya pada huruf-hurufnya. Bedanya, festival itu mungkin gagal: Bangkok tak pernah hadir di lidah. Sedangkan Maulid berhasil: dalam nama yang baru, ia tetap menyajikan rasa lama yang otentik—sirah, salawat, dan zikir. Novelti Maulid bukanlah isi yang asing, melainkan cara kreatif umat membingkai ulang sunnah agar tetap segar di zaman yang cepat bosan.


Saya pulang dengan lidah yang kecewa. Bangkok yang saya bayangkan terhempas di antara mozzarella dan blackpepper. Maulid pun, bagi sebagian orang, tetap ditolak mentah-mentah karena papan namanya asing. Tapi ketika saya menoleh, istri saya tersenyum puas hanya karena saya menemaninya. Dan saya pun sadar, novelti sejati malam itu ternyata bukan pada makanan, bukan pada spanduk, bahkan bukan pada perdebatan tentang Maulid. Novelti itu sederhana: senyum istri yang menemukan kebahagiaannya sendiri.

Berbagi "Baku Maulid" Itu Membahagiakan
Muhammad Haramain (LPPM IAIN Parepare)