Skip ke Konten

Malu dan Tawaduk: Dua Mahkota Akhlak Rasulullah untuk Harmoni Umat

Dr. Muhammad Jufri, M. Ag.

Di tengah era modern yang dipenuhi kepura-puraan, narsisisme, dan persaingan tidak sehat, umat Islam sangat membutuhkan teladan akhlak Rasulullah saw. Dua sifat agung beliau yang sering terlupakan justru menjadi kunci perbaikan umat: syadīdul ḥayā’ (sangat pemalu) dan syadīdut tawāḍhu‘ (sangat rendah hati).

Dalam Islam, malu adalah benteng moral. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak khas Islam adalah al-ḥayā’ (malu).” (HR. Ibn Mājah). Malu Nabi bukanlah kelemahan, melainkan kesadaran spiritual yang menjaga kehormatan diri sekaligus memuliakan orang lain. Para sahabat menggambarkan beliau lebih pemalu daripada gadis perawan di balik tabir: tidak menatap dengan merendahkan, tidak menyakiti dengan kata, dan wajah beliau berubah bila melihat sesuatu yang tidak pantas.

Meski pemimpin agung, Rasulullah saw. tidak pernah menempatkan dirinya di atas umat. Beliau duduk bersama sahabat layaknya orang biasa, menjahit pakaiannya, memperbaiki sandalnya, bahkan membantu pekerjaan rumah. Kerendahan hati itu bukan pencitraan, melainkan realitas hidup. Karena itulah beliau dicintai anak-anak, dihormati kaum miskin, dan disegani para pemuka masyarakat.

Ironisnya, umat hari ini justru menghadapi krisis akhlak. Budaya pamer di media sosial membuat banyak orang kehilangan rasa malu: aurat dipertontonkan, harta dipamerkan, privasi dijual demi pujian semu. Dalam politik, pencitraan kerap mengalahkan kerja nyata. Senyum di depan kamera tak jarang menutupi kepentingan pribadi dan kelompok. Bahkan dalam kehidupan sosial, keramahan di muka sering berbanding terbalik dengan iri, dengki, bahkan kebencian di belakang. Inilah wajah kemunafikan modern yang menggerogoti kepercayaan dan solidaritas umat.

Ulama kontemporer telah mengingatkan pentingnya akhlak ini. Syekh Yusuf al-Qaradawi menegaskan, kebangkitan Islam tidak lahir dari slogan, melainkan dari akhlak yang hidup dalam keseharian. Prof. Quraish Shihab pun menekankan, rendah hati tidak merendahkan derajat, justru meninggikan; sebaliknya, kesombongan hanya menyingkap kehampaan diri. Pesan ini terasa begitu relevan ketika dikaitkan dengan budaya pamer dan arogansi yang kini mewarnai dunia digital.

Malu menjaga umat dari perilaku tercela dan mempermalukan diri sendiri, sementara tawaduk menumbuhkan kepemimpinan yang melayani serta persaudaraan yang menguatkan. Jika umat Islam kembali meneladani dua sifat ini, media sosial dapat menjadi ruang kebaikan, politik menjadi sarana pelayanan, dan masyarakat menjadi rumah bersama yang harmonis.

Rasulullah saw. adalah teladan sempurna. Dua mahkota akhlak beliau—syadīdul ḥayā’ wa syadīdut tawāḍhu‘—harus dihidupkan kembali di tengah krisis akhlak umat. Tanpa malu dan tawaduk, kita hanya akan terjebak dalam kepalsuan zaman. Malu menjaga martabat, tawadhu’ menyatukan umat. Dua sifat Rasulullah saw. ini adalah obat bagi penyakit pamer, pencitraan, dan kemunafikan modern.

Wallāhu A‘lam bi al-Ṣawāb.

(Mahjuf, 11/09/’25)

Dari Skeptisisme ke Kekaguman: Nabi Muhammad Saw di Mata Penulis Barat
Muhammad Haramain (Dosen Sosiologi Dakwah, IAIN Parepare)