Indonesia bukan sedang kekurangan undang-undang, kita justru dibanjiri regulasi. Dari UU Lingkungan Hidup, Minerba, Perkebunan, hingga Cipta Kerja. Namun pertanyaannya sederhana sekaligus menohok: jika hukum sudah setebal rak perpustakaan, mengapa hutan tetap hilang, sungai tetap tercemar, dan masyarakat di sekitar sumber daya justru menjadi kelompok paling menderita?
Jawabannya bukan pada teks hukum, tetapi pada bagaimana hukum bekerja di ruang kekuasaan dan pasar.
Selama ini pembangunan dimaknai sebagai pertumbuhan ekonomi: investasi semakin deras, lahan semakin luas dibuka, produksi semakin meningkat, lalu dianggap berhasil. Paradigma ini berpijak pada cara pandang antropocentris dan kapitalistik yang menempatkan alam bukan sebagai ruang kehidupan, tetapi sebagai objek eksploitasi. Dalam logika hukum ekonomi, hasilnya jelas: keuntungan dinikmati pelaku usaha, sementara biayanya ditanggung publik.
Sungai penuh limbah? Udara beracun? Hutan hilang untuk kebun sawit?
Bukan perusahaan yang menanggung akibatnya, melainkan warga yang kehilangan air bersih, tanah produktif, dan kesehatan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sebenarnya tegas: pencemar harus membayar, pelanggar dapat dipidana. Namun di praktik, sanksi sering lebih kecil daripada keuntungan perusakan. Maka bagi sebagian pelaku usaha, denda bukan ancaman—melainkan sekadar biaya operasional tambahan.
Ketika hukum tak lagi menimbulkan efek jera, ia berhenti menjadi alat keadilan dan berubah menjadi ornamen legalitas. Dan pada titik paling brutal, kerusakan lingkungan tidak pernah netral terhadap kelas sosial. Petani, nelayan, masyarakat adat, dan warga miskin di wilayah industri selalu menjadi barisan paling depan yang menanggung dampak. Mereka jarang diundang dalam proses perizinan dan Analisis Dampak Lingkungan. Bahkan perubahan regulasi melalui skema seperti Omnibus Law semakin memperkecil ruang partisipasi publik.
Di sini, hukum bukan lagi pelindung hak warga, melainkan pagar yang menghalangi suara mereka masuk ke meja pengambil keputusan.
Perkembangan legislasi dalam sektor sumber daya alam menunjukkan pola yang sama: deregulasi dipercepat, proteksi lingkungan dipangkas, dan investasi ditempatkan sebagai prioritas tertinggi. Fenomena ini dikenal sebagai regulatory capture— ketika pihak yang seharusnya diawasi justru ikut menulis aturan dan mengendalikan pengawasan.
Dalam kondisi seperti ini, hukum berubah fungsi: bukan sebagai pembatas kekuasaan, melainkan sebagai alat legitimasi dominasi.
Konsekuensinya tidak hanya dirasakan hari ini. Lubang tambang yang ditinggalkan, hutan yang lenyap, sumber air yang rusak—semuanya merupakan beban ekologis, sosial, dan hukum yang diwariskan kepada generasi mendatang. Prinsip keadilan antargenerasi, yang seharusnya menjadi landasan pembangunan berkelanjutan, akhirnya tinggal jargon dalam dokumen kebijakan.
Karena itu, reformasi hukum lingkungan bukan sekadar menambah aturan baru. Yang kita butuhkan adalah hukum yang berfungsi, bukan hanya hukum yang tertulis. Itu berarti:
- Pelaku perusakan harus membayar penuh, bukan sebagian.
- Profit tidak boleh lebih tinggi daripada kehidupan.
- Masyarakat terdampak harus menjadi subjek, bukan penonton.
- Dan hukum harus berpihak pada lingkungan dan keadilan sosial—bukan modal dan kuasa.
Akhirnya, pertanyaan yang tersisa bukan lagi seberapa besar ekonomi tumbuh, tetapi:
Apakah pembangunan masih menyisakan bumi yang layak ditinggali? Apakah manfaatnya dinikmati semua orang, bukan hanya segelintir elite?
Jika jawabannya belum, maka hukum ekonomi kita bukan sedang merancang masa depan, melainkan merusaknya pelan-pelan, dengan tinta legalitas yang terlihat sah tetapi mengingkari keadilan.