Skip ke Konten

Dari Skeptisisme ke Kekaguman: Nabi Muhammad Saw di Mata Penulis Barat

Muhammad Haramain (Dosen Sosiologi Dakwah, IAIN Parepare)

Di mata Barat, sosok Nabi Muhammad Saw sering kali hadir dalam dua wajah yang saling berlawanan. Di satu sisi, ia kerap disalahpahami sebagai figur asing yang datang dari gurun pasir Arabia, digambarkan dengan nada skeptis bahkan sinis oleh sejumlah orientalis. Tetapi di sisi lain, justru dari Barat pula lahir suara-suara jernih yang melihat Nabi Muhammad tidak hanya sebagai seorang pendiri agama, tetapi juga pemimpin, reformis sosial, dan manusia yang mengubah jalannya sejarah.

Paradoks ini menarik. Barat yang selama berabad-abad membangun relasi tegang dengan dunia Islam ternyata menyimpan warisan intelektual yang kaya tentang Muhammad. Memang, sebagian penggambaran lahir dari prasangka dan benturan peradaban. Namun, ada pula yang justru menyingkap dimensi kemanusiaan dan keagungan Nabi dengan jujur dan apa adanya. Suara-suara itu datang dari tokoh-tokoh yang berbeda latar belakang, berbeda zaman, bahkan berbeda keyakinan.

Artikel ini menyoroti empat di antaranya: Bernard Shaw, Michael H. Hart, Karen Armstrong, dan Lesley Hazleton. Keempat nama ini, meskipun tidak seragam pandangan dan motivasinya, memberikan kontribusi besar dalam menghadirkan perspektif alternatif tentang Nabi Muhammad Saw bagi khalayak Barat. Dari seorang dramawan skeptis, seorang sejarawan sains yang rasional, seorang penulis biografi yang penuh empati, hingga seorang jurnalis-esais yang fasih merangkai kisah, mereka menghadirkan Muhammad dalam rupa yang berlapis-lapis.

1. Bernard Shaw: Skeptisisme yang Berujung pada Kekaguman

George Bernard Shaw, dramawan dan intelektual asal Irlandia, dikenal luas sebagai sosok yang tajam lidahnya, sinis, bahkan kerap menohok pandangan keagamaan dan sosial arus utama pada masanya. Ia hidup di era ketika Eropa masih memandang Islam dengan kacamata kolonial: penuh prasangka, stereotip, dan jarak budaya. Namun justru dari pribadi skeptis inilah lahir kata-kata yang begitu mengejutkan: pengakuan akan kebesaran Nabi Muhammad Saw.

Shaw bukanlah seorang religius dalam pengertian tradisional. Ia sering mengkritik gereja, menertawakan dogma, bahkan mencibir kecenderungan masyarakat yang menelan bulat-bulat otoritas agama. Karena itu, ketika ia berbicara tentang Nabi Muhammad Saw., kata-katanya mendapat bobot lebih: bukan pujian sentimental, melainkan pengakuan seorang rasionalis yang terbiasa membedah segala hal secara kritis.

Dalam salah satu komentarnya yang paling terkenal, Shaw menyebut Nabi Muhammad sebagai “savior of humanity” penyelamat umat manusia. Ucapan ini bukan basa-basi, melainkan refleksi dari pengamatan atas jejak historis Nabi. Ia melihat bahwa Muhammad hadir di tengah masyarakat Arab yang terjebak dalam kekacauan moral: perang antar-suku yang tiada henti, penindasan terhadap perempuan, eksploitasi terhadap yang lemah. Dari kondisi itu, lahirlah seorang figur yang dengan konsistensi luar biasa mengubah wajah masyarakat hanya dalam kurun dua dekade.

Apa yang membuat Shaw terkesan bukan semata-mata keberhasilan politik Nabi, melainkan juga integritas pribadinya. Dalam pandangan Shaw, Muhammad adalah sosok yang memadukan visi transenden dengan pragmatisme sosial. Ia bukan sekadar pemimpi, melainkan pemimpin yang mampu menerjemahkan wahyu menjadi gerakan nyata: dari pembebasan budak, pengaturan etika bisnis, hingga fondasi hukum yang menekankan keadilan.

Tentu saja, Shaw tetap mempertahankan nuansa skeptisnya. Ia tidak tiba-tiba menjadi seorang Muslim atau membela doktrin Islam secara mutlak. Namun justru di situlah menariknya. Kekagumannya lahir dari keterbatasannya, dari jarak yang ia pertahankan. Baginya, Muhammad adalah contoh nyata bagaimana seorang manusia bisa melampaui keterbatasan zamannya, menginspirasi jutaan orang, dan meninggalkan warisan peradaban yang bertahan hingga kini.

Shaw bahkan sempat mengungkapkan bahwa jika dunia membutuhkan seorang tokoh untuk menyelamatkan umat manusia dari krisis moral dan spiritual, maka Muhammad adalah sosok yang layak. Kata-kata ini sering dikutip, meskipun dalam konteks perdebatan tentang orisinalitas teks. Namun, baik benar-benar tertulis secara eksplisit maupun disampaikan dalam bentuk opini yang beredar, ia tetap mencerminkan arah pandangan Shaw: ada rasa hormat yang sulit disangkal.

Menariknya, pengakuan Shaw muncul di tengah tradisi orientalisme yang umumnya menempatkan Nabi Muhammad secara negatif: sebagai penipu, oportunis, atau pemimpin militer belaka. Di saat banyak sarjana Eropa menggambarkan Islam dengan tinta gelap, Shaw justru memilih palet warna yang berbeda. Ia melihat sisi kemanusiaan sekaligus kejeniusan historis Muhammad.

Jika ditarik ke dalam konteks lebih luas, pengakuan Shaw bisa dibaca sebagai jendela awal, bahkan dalam tradisi intelektual Barat yang skeptis, ada celah untuk melihat Nabi Muhammad dengan kacamata yang lebih jernih. Dari skeptisisme yang kritis lahirlah kekaguman yang tulus.

Bagi masyarakat Muslim, tentu ini bukan sekadar soal validasi dari seorang Barat. Lebih dari itu, pernyataan Shaw mengingatkan bahwa kebesaran Nabi Muhammad Saw. tidak terbatas pada iman umatnya, tetapi juga dapat diakui oleh siapa pun yang mau jujur menimbang fakta sejarah.

2. Michael H. Hart: Antara Sejarah dan Pengaruh

Jika Bernard Shaw mewakili suara skeptis yang akhirnya luluh oleh kekaguman, maka Michael H. Hart menghadirkan sesuatu yang lebih terukur dan sistematis. Ia bukan dramawan, bukan pula novelis, melainkan seorang astrofisikawan dan sejarawan sains asal Amerika. Nama Hart melambung tinggi pada tahun 1978 setelah menerbitkan buku kontroversialnya, The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History.

Dalam buku itu, Hart berusaha melakukan sesuatu yang jarang dilakukan: mengurutkan tokoh-tokoh paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia, dari Nabi Isa, Buddha, hingga tokoh modern seperti Einstein. Namun yang paling mengejutkan dunia Barat saat itu adalah pilihannya menempatkan Nabi Muhammad Saw. di urutan pertama bahkan di atas Yesus.

Mengapa Muhammad? Hart menjelaskan dengan jernih: Nabi Muhammad adalah satu-satunya tokoh dalam sejarah yang berhasil mencapai keberhasilan luar biasa di dua ranah sekaligus spiritual dan politik. Dalam kapasitasnya sebagai nabi, ia melahirkan gerakan religius yang kini diikuti lebih dari satu miliar manusia. Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik, ia membangun sebuah tatanan sosial yang mampu bertahan dan berkembang menjadi salah satu peradaban terbesar di dunia.

Bagi Hart, keunikan Muhammad terletak pada sinergi keduanya. Tokoh-tokoh lain mungkin hanya menonjol pada satu sisi. Isa, misalnya, dianggap memberi dampak spiritual mendalam, tetapi peran politiknya tidak sebanding. Julius Caesar atau Aleksander Agung mungkin unggul dalam strategi militer dan politik, tetapi tidak menorehkan pengaruh spiritual. Muhammad memadukan keduanya dalam satu pribadi, dan itu menurut Hart membuatnya layak menempati posisi pertama.

Pernyataan Hart memicu kontroversi besar, khususnya di kalangan Kristen Barat. Banyak yang menganggapnya provokatif, bahkan menghina iman mayoritas masyarakat Amerika. Namun Hart tetap teguh pada penilaiannya. Baginya, sejarah harus dibaca dengan obyektivitas, bukan dengan kacamata bias keagamaan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Muhammad tidak hanya mengubah jazirah Arab, tetapi juga membentuk alur sejarah global hingga kini.

Yang menarik, Hart tidak menulis dari sudut pandang religius. Ia tidak menilai kenabian Muhammad dari sisi wahyu atau keimanan, melainkan dari kacamata sejarah pengaruh. Justru karena itulah penilaiannya dianggap lebih kredibel di mata kalangan non-Muslim. Ia seakan berkata: terlepas dari keyakinan Anda, Anda tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa Muhammad adalah tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia.

Lebih jauh, Hart juga mengakui kapasitas pribadi Muhammad sebagai pemimpin. Ia menyoroti kecerdasan Nabi dalam menyatukan suku-suku Arab yang terpecah-belah, keteguhannya dalam menghadapi tekanan, serta kemampuannya membangun masyarakat berbasis nilai. Baginya, pencapaian ini bukan kebetulan, melainkan hasil kepemimpinan visioner yang jarang ditemui dalam sejarah.

Tentu saja, pendekatan Hart bersifat deskriptif dan agak kering, berbeda dari Bernard Shaw yang penuh retorika. Namun justru dengan gaya itu, kontribusi Hart terasa penting. Ia membawa perbincangan tentang Muhammad dari ranah emosi ke ranah analisis historis. Ia menempatkan Nabi bukan hanya sebagai figur agama, tetapi juga sebagai aktor sejarah universal.

Bagi umat Islam, penilaian Hart bisa dibaca sebagai pengakuan eksternal bahwa jejak Nabi Muhammad tidak bisa dipinggirkan dalam narasi peradaban dunia. Bagi pembaca Barat, ia menjadi tantangan untuk melihat Islam dengan lebih objektif, tanpa tertutup oleh prasangka lama.

Pada akhirnya, karya Hart menegaskan satu hal: Nabi Muhammad Saw. bukan hanya milik umat Islam. Ia adalah bagian dari sejarah umat manusia, sosok yang pengaruhnya dirasakan lintas agama, lintas bangsa, dan lintas zaman. Dari perspektif ini, kekaguman Hart bukan sekadar penghormatan pribadi, melainkan catatan sejarah yang menolak dilupakan.

3. Karen Armstrong: Nabi sebagai Potret Humanisme

Jika Bernard Shaw menyoroti kejeniusan moral Nabi dari luar pagar skeptisisme, dan Michael H. Hart mengangkatnya dari sudut sejarah pengaruh, maka Karen Armstrong menghadirkan pendekatan yang berbeda: empatik, historis, dan humanis. Mantan biarawati Katolik yang kemudian menjadi sejarawan agama ini dikenal luas lewat karya-karyanya yang berusaha mendekatkan figur-figur religius kepada pembaca modern, tanpa fanatisme, tanpa demonisasi.

Dalam bukunya Muhammad: A Prophet for Our Time (2006), Armstrong membongkar gambaran hitam-putih yang kerap dilekatkan pada Nabi Muhammad Saw. oleh wacana Barat. Alih-alih melihat Nabi sebagai sosok militeris atau dogmatis, Armstrong menekankannya sebagai manusia penuh welas asih, seorang reformis sosial, dan pembawa pesan keadilan yang kontekstual.

Armstrong tidak sekadar menuliskan riwayat hidup Nabi. Ia berusaha menghidupkan konteks: bagaimana kondisi jazirah Arab pra-Islam dengan stratifikasi sosial yang timpang, perempuan yang diperlakukan layaknya komoditas, serta masyarakat yang terjebak dalam spiral kekerasan suku. Di tengah situasi inilah, kata Armstrong, Muhammad tampil bukan sekadar pembawa doktrin agama, melainkan penyembuh luka sosial.

Yang menarik, Armstrong menolak cara pandang yang melihat Nabi hanya dari sisi supranatural. Ia justru menekankan sisi manusiawinya: kegelisahan saat menerima wahyu pertama, ketakutannya akan tugas besar yang diemban, hingga perjuangan batinnya dalam menghadapi penolakan masyarakat. Bagi Armstrong, justru inilah yang membuat Muhammad relevan: ia bukan sosok yang jauh, melainkan manusia yang bergulat dengan keterbatasannya.

Armstrong juga menekankan dimensi welas asih Nabi. Ia mengutip berbagai peristiwa, mulai dari perlakuan Nabi terhadap kaum lemah, pengampunannya terhadap musuh, hingga komitmennya pada perdamaian. Dalam pandangan Armstrong, semua itu adalah cerminan nilai inti Islam: rahmah, kasih sayang. Pandangan ini kontras dengan citra Islam pasca-9/11 yang sering dilabeli kekerasan.

Dengan gaya penulisannya yang lembut namun argumentatif, Armstrong mengajak pembaca Barat untuk membuang stereotip lama. Ia menulis bukan untuk mengislamkan, melainkan untuk memanusiakan. Bagi Armstrong, Nabi Muhammad Saw. adalah figur yang bisa menginspirasi siapa pun, baik Muslim maupun non-Muslim, untuk memperjuangkan keadilan sosial, menghargai sesama, dan membangun peradaban yang lebih welas asih.

Karya Armstrong mendapat sambutan luas, tetapi juga kritik. Sebagian pihak menuduhnya terlalu simpatik terhadap Islam, bahkan apologetik. Namun bagi banyak Muslim, buku Armstrong justru menjadi jembatan penting: sebuah suara dari Barat yang berusaha adil terhadap Nabi Muhammad, di tengah lautan prasangka dan misrepresentasi.

Pada akhirnya, kontribusi Armstrong bukan pada orisinalitas data sejarah, melainkan pada cara ia menafsirkan. Ia berhasil memotret Nabi Muhammad Saw. sebagai tokoh humanis yang relevan lintas zaman. Dengan kata lain, Armstrong memulangkan Nabi kepada kemanusiaannya, tanpa kehilangan aura spiritualnya.

4. Lesley Hazleton: Nabi dalam Narasi Empati

Jika Karen Armstrong menulis dengan disiplin sejarawan, maka Lesley Hazleton memilih jalur yang lebih naratif, hampir seperti novelis. Wartawan, penulis, dan psikolog kelahiran Inggris ini dikenal dengan julukan the accidental theologian. Ia menulis tentang agama bukan dari keyakinan, melainkan dari rasa ingin tahu yang mendalam dan gaya literernya membuat kisah yang ia angkat terasa hidup, bahkan memikat.

Dalam karyanya The First Muslim: The Story of Muhammad (2013), Hazleton menolak menempatkan Nabi Muhammad Saw. sebagai figur kaku atau setengah mitos. Ia justru menghadirkannya sebagai manusia yang bergulat, yang takut, yang ragu, dan yang akhirnya menemukan keberanian untuk memikul amanah besar. Baginya, keberanian Muhammad tidak lahir dari ketidakgentaran, melainkan dari pertemuan intens dengan kerentanan manusiawi.

Hazleton sangat piawai memainkan detail. Ia menggambarkan momen turunnya wahyu pertama di Gua Hira bukan sebagai kisah heroik penuh cahaya semata, melainkan sebagai pengalaman traumatis: Muhammad yang ketakutan, menggigil, berlari pulang kepada Khadijah, memohon dekapan dan keyakinan. Dalam penggambaran ini, Nabi tampak begitu dekat, seorang manusia yang bisa rapuh, namun justru dari kerentanan itulah muncul keteguhan.

Narasi Hazleton juga memperlihatkan sensitivitasnya terhadap konteks sosial-politik. Ia menulis tentang Mekkah abad ke-7 sebagai kota perdagangan yang penuh kesenjangan sosial, di mana segelintir elite menguasai kekayaan sementara banyak orang terpinggirkan. Dari situ, ia memandang Islam lahir sebagai jawaban radikal terhadap ketidakadilan. Muhammad, dalam kisahnya, adalah seorang reformis sosial yang menantang status quo dengan nilai kesetaraan dan keadilan.

Yang membedakan Hazleton dari Armstrong adalah gaya penuturan. Jika Armstrong berusaha menulis dengan objektivitas akademis, Hazleton membiarkan dirinya larut dalam drama manusiawi. Ia tidak ragu menggunakan bahasa yang emosional, bahkan puitis. Hasilnya adalah potret Nabi yang bisa “dibaca” oleh pembaca Barat sekuler maupun spiritual, tanpa harus terjebak pada dogma.

Namun, pendekatan Hazleton ini juga menuai kritik. Sebagian pembaca Muslim menganggapnya terlalu bebas menafsirkan, bahkan kadang-kadang menambahkan imajinasi literer yang tidak terdapat dalam riwayat klasik. Meski begitu, banyak pula yang justru melihatnya sebagai jembatan: ia membuat Nabi Muhammad Saw. bisa didekati, bukan hanya dikagumi dari kejauhan.

Dalam karyanya, Hazleton juga menekankan bahwa perjalanan Nabi Muhammad adalah perjalanan pencarian makna. Ia bukan sosok yang sejak awal “sudah jadi”, melainkan berkembang melalui pengalaman, penderitaan, dan refleksi. Dari trauma masa kecil sebagai yatim, hingga pengasingan dari kaumnya, semua itu ia tafsirkan sebagai lapisan yang membentuk keteguhan dan visi kenabiannya.

Penutup: Dari Skeptisisme ke Kekaguman

Empat tokoh Barat yang kita bicarakan; George Bernard Shaw, Michael H. Hart, Karen Armstrong, dan Lesley Hazleton mewakili spektrum pendekatan yang berbeda, namun bermuara pada benang merah yang sama: pengakuan akan kebesaran Nabi Muhammad Saw.

Shaw, dengan skeptisisme khas seorang dramawan yang gemar menggugat otoritas, akhirnya sampai pada kesimpulan mengejutkan: Muhammad adalah penyelamat umat manusia. Kata-kata ini lahir bukan dari iman, melainkan dari keterkejutan intelektual melihat bagaimana seorang individu mampu mengubah wajah sejarah.

Hart, dengan disiplin seorang ilmuwan dan sejarawan, menempatkan Nabi Muhammad di posisi pertama dalam daftar tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah. Ia tidak berbicara tentang mukjizat atau wahyu, melainkan tentang bukti empiris: keberhasilan Muhammad dalam ranah spiritual sekaligus politik. Dari sudut pandang yang dingin dan rasional, Hart melihat sesuatu yang tak terbantahkan: pengaruh Muhammad melampaui batas agama dan peradaban.

Armstrong kemudian membawa kita ke arah yang lebih lembut, humanis. Ia menulis tentang Nabi sebagai manusia yang peduli, penuh belas kasih, dan berani melawan ketidakadilan. Baginya, Muhammad adalah suara hati nurani yang relevan lintas zaman, figur yang bisa menginspirasi siapa saja, baik Muslim maupun non-Muslim, untuk membangun dunia yang lebih adil dan penuh kasih.

Hazleton, akhirnya, menambahkan lapisan emosional. Dengan gaya naratifnya yang puitis, ia menghadirkan Nabi sebagai manusia yang bergulat dengan rasa takut, keraguan, dan kesedihan—namun tetap memilih keberanian. Baginya, keagungan Muhammad justru lahir dari kerentanannya. Ia membuat kisah Nabi terasa dekat, bisa dirasakan denyut emosinya oleh pembaca modern.

Keempat penulis ini, tidak selalu sejalan dengan tradisi Islam dalam melihat Nabi, tetapi justru di situlah letak pentingnya. Mereka menunjukkan bahwa sosok Muhammad tidak bisa dikurung hanya dalam satu perspektif. Ia adalah figur yang resonansinya melampaui batas iman, budaya, dan geografi.

Dari skeptisisme ke kekaguman, dari analisis ke empati, dari sejarah ke humanisme—semua jalan ini akhirnya bermuara pada pengakuan bahwa Muhammad Saw. adalah tokoh yang tidak bisa diabaikan. Bahkan ketika Barat kerap memandang Islam dengan kecurigaan, suara-suara dari dalam tradisi intelektualnya sendiri justru mengafirmasi kebesaran Nabi.

Bagi kita, umat Islam, pengakuan ini bukan sekadar pembenaran dari luar. Lebih penting dari itu, ia mengingatkan bahwa risalah Nabi Muhammad Saw. memang bersifat universal. Ia bukan hanya teladan bagi umat tertentu, melainkan cermin bagi seluruh umat manusia.

Sejarah memperlihatkan: seorang anak yatim dari gurun Arabia, yang pernah ketakutan di gua kecil, yang pernah dihina oleh kaumnya, kini dikenang oleh para pemikir dunia sebagai salah satu manusia terbesar yang pernah hidup. Itulah jejak Nabi Muhammad—jejak yang menembus waktu, menantang prasangka, dan mengundang kita untuk terus membaca ulang makna kemanusiaan.


Daftar Bacaan


  • Armstrong, K. (2006). Muhammad: A prophet for our time. HarperOne.
  • Hart, M. H. (1992). The 100: A ranking of the most influential persons in history (Rev. ed.). Citadel Press.
  • Hazleton, L. (2013). The first Muslim: The story of Muhammad. Riverhead Books.
  • Shaw, G. B. (1935). The genuine Islam (Vol. 1, No. 8). Singapore: Oriental Press.(Catatan: Bernard Shaw tidak menulis buku khusus tentang Nabi Muhammad, tetapi tulisannya tentang beliau muncul dalam pamflet “The Genuine Islam” tahun 1936, diterbitkan ulang di beberapa sumber. Beberapa versi terbit di Singapura dan India.)
Haji, Cinta, dan Wajah Baru Kementerian Agama
Tasrif, SE., M.M (Pranata Humas/ Ajudan Rektor IAIN Parepare)