Skip ke Konten

Batin Tersangka dan Tuntunan Sosial: Antara Mens Rea dan Qasd

Ketika kita membicarakan tindak pidana, kita cenderung terfokus pada perbuatannya: apa yang dilakukan? Namun, baik hukum modern maupun tradisi fikih Islam, telah lama menyadari bahwa batin pelaku (niatnya) memegang peran fundamental. Inilah yang diistilahkan dalam hukum pidana modern sebagai mens rea, dan dalam fikih sebagai qasd.

Oleh: Muhammad Haramain   |   Dosen Sosiologi Dakwah IAIN Parepare

 

Sebagai seorang pemerhati dakwah, saya sering kali merenung tentang relasi antara hukum dan hati nurani. Ketika kita membicarakan tindak pidana, kita cenderung terfokus pada perbuatannya: apa yang dilakukan? Namun, baik hukum modern maupun tradisi fikih Islam, telah lama menyadari bahwa batin pelaku (niatnya) memegang peran fundamental. Inilah yang diistilahkan dalam hukum pidana modern sebagai mens rea, dan dalam fikih sebagai qasd.

Konsep ini, bagi saya, bukan sekadar teori hukum. Ia adalah cerminan dari sebuah tugas dakwah yang lebih besar: membangun kesadaran sosial dan moral yang mampu membentuk niat baik, bukan sekadar mencegah perbuatan buruk.

Fenomena Sosial dan Moralitas Batin

Dalam kajian sosiologi, kita melihat bahwa perilaku menyimpang tidak berdiri sendiri. Ada konteks sosial, ekonomi, dan budaya yang melatarinya. Seseorang yang mencuri karena kelaparan di tengah kemiskinan struktural, misalnya, secara hukum tetap bersalah. Namun, perspektif dakwah yang holistik akan menelisik lebih dalam. Apa yang membuat niatnya menjadi "jahat"? Apakah itu dorongan yang murni kriminal, atau justru sebuah respons putus asa terhadap ketidakadilan sosial?

Di sinilah dakwah memiliki peran vital. Dakwah bukan hanya tentang ceramah di mimbar, melainkan sebuah proses penyadaran sosial. Ia harus mampu menyoroti bagaimana kondisi sosial membentuk, dan kadang merusak, niat batin seseorang. Dakwah yang efektif adalah dakwah yang juga menyuarakan keadilan sosial, agar niat-niat jahat yang berakar pada ketidakadilan bisa diminimalisasi.

Hikmah di Balik Pembagian Niat dalam Fikih

Fikih, dengan pembagian niatnya (al-'amdushibh al-'amdual-khata'), memberikan dasar bagi kita dalam memahami kompleksitas moral manusia. Pembagian ini mengajarkan kita bahwa niat tidak seragam. Ada niat yang murni jahat, ada yang samar-samar, dan ada pula yang sama sekali tidak diniatkan.

Bagi para da'i, hal ini adalah modal sosial yang penting. Dengan memahami nuansa niat ini, seorang da'i tidak akan terburu-buru menghakimi. Sebaliknya, ia akan mampu memberikan solusi yang lebih bijaksana, yang sesuai dengan tingkat kesalahan batin seseorang.

  • Pada kasus kesengajaan (al-'amdu), dakwah perlu fokus pada upaya introspeksi mendalam dan pertaubatan, serta edukasi tentang konsekuensi sosial dari perbuatan jahat.
  • Pada kasus mirip sengaja (shibh al-'amdu), dakwah bisa berperan dalam membangun kesadaran akan risiko dan tanggung jawab sosial, mengajarkan bahwa tidak semua alat bisa digunakan tanpa konsekuensi.
  • Pada kasus kelalaian (al-khata'), dakwah berperan penting dalam mengingatkan akan pentingnya kehati-hatian, tanggung jawab, dan empati terhadap sesama, serta memberikan pemahaman bahwa setiap tindakan memiliki akibat, meskipun tak disengaja.

Dakwah sebagai Jembatan Hukum dan Hati Nurani

Pada akhirnya, dakwah memiliki tugas besar untuk menjembatani antara hukum yang mengatur perbuatan dan moralitas yang membimbing niat. Dakwah harus menjadi kekuatan sosial yang membentuk niat-niat baik di dalam masyarakat. Ia tidak boleh hanya berorientasi pada ritual ibadah, tetapi juga harus fokus pada pembentukan karakter, etika sosial, dan kesadaran hukum.

Seorang da'i yang baik tidak hanya menyerukan kebaikan secara verbal, tetapi juga menjadi contoh nyata dalam perilaku sosialnya. Dakwah yang relevan adalah dakwah yang menyentuh akar permasalahan sosial, yang mengajak umat untuk merenungi batin mereka, dan yang membimbing mereka untuk bertindak dengan niat yang bersih.

Dengan demikian, pemahaman tentang mens rea dan qasd mengingatkan kita bahwa dakwah harus berjalan di dua jalur: membimbing perbuatan lahiriah dan membentuk niat batiniah. Karena, seburuk apa pun perbuatan, ia selalu berawal dari niat. Dan seindah apa pun niat, ia tak akan berbuah tanpa perbuatan yang sejalan. Inilah inti dari sebuah dakwah yang mencerahkan: menuntun masyarakat agar selalu berbuat baik dengan niat yang benar.

 Parepare, 26 September 2025

di dalam Opini Dosen
Transformasi Budaya Kerja: High Tech dan High Touch di IAIN Parepare
Prof. Dr. Hannani, M.Ag (Rektor IAIN Parepare)